Monday 21 October 2013

Pengalaman dengan Bocah-Bocah

Selama di perjalanan Lombok-Bali Maret lalu, ada pengalaman tak terlupakan yang melibatkan bocah-bocah.

Ketika berada di gerbang Goa Lawar di Bali, seketika ada seorang bocah yang menghampiri saya, dan berkata “Kakak Cantik deh” berulang-ulang, lalu bocah tersebut mengintili kemanapun saya pergi, berbaik hati memakaikan kain untuk masuk ke Goa, dan memberikan sebuah gelang yang manis. Namun ternyata, ada seuntai pesan yang dia ucapkan ditelinga saya setelahnya “Kak, jangan lupa ya nanti pas pulang beli oleh-oleh”. Sontak, saya dan kawan-kawan pun tertawa terbahak-bahak. Dibalik ucapan “kakak cantik” yang membuat saya yang berpenampilan pas-pasan ini ge-er, ternyata ada maunya toh. Dan benar saja, ketika saya balik, saya langung dikerubungi untuk membeli “oleh-oleh” dengan harga yang tidak karuan mahalnya. Yaaah, walaupun begitu, bagaimana saya tega mengabaikan bocah kecil yang berkata “Kakak cantik” kepada saya. Huft, benar-benar startegi marketing yang mantaplah.

Bocah di Goa Lawar

Pengalaman kedua terjadi di Pantai Kuta. Pada saat di mobil menuju pantai Kuta, Pak Jamani, tour guide kami di Lombok berpesan jangan sekalipun membeli sesuatu dari yang jualan disana. Okeh, akan kami ingat pesan tersebut. Sesampainya disana, benar saja ada banyak bocah-bocah yang berjualan. Semua bocah-bocah tersebut mengerubungi kami secara membabi buta untuk memaksa kami membeli oleh-oleh yang berupa gelang. Setiap kepala dari kami, paling tidak diintili satu orang bocah yang menawarkan dagangannya. Sialnya, saya dan andre memiliki hati bak malaikat turun ke bumi, kami pun luluh dan membeli oleh-oleh dari seorang bocah. Namun ternyata oh ternyata, berita kami membeli gelang disebarkan oleh si penjual ke semua temannya. Walhasil, saya dan andre dikerubungi semua bocah yang mengatakan “kok kakak gak adil sih, masa beli ke temen saya aja, kami juga dibeli dong gelangnya”. Semua menuntut keadilan dari kami berdua. Setiap saya jalan satu langkah, pasti ada kata “adil” yang diteriakkan oleh bocah-bocah itu. Ya bagaimana bisa saya menerapkan konsep keadilan kalau ada sekitar 10 bocah disana yang menuntut hal yang sama. Dan teman-teman saya pun cuman tertawa terbahak-bahak melihat kami yang tidak bisa menikmati indahnya pantai Kuta sore itu karena bocah-bocah ini. Mereka tetap gigih menawarkan gelangnya kepada kami dari harga 10.000/buah hingga 10.000/3 buah hingga sore hari. Memaksa sambil mengatakan konsep keadilan.

Bocah di Pantai Kuta

Akhirnya, si andre mempunyai ide brilian, menawar hingga mendapatkan harga 10.000/empat buah dan mengajak saya patungan dan membeli gelang dari masing-masing bocah tersebut. Setiap anak akan dibeli satu buah gelangnya. Andrepun menyuruh bocah-bocah tersebut baris. Berhubung tidak ada receh, maka kami berkata kepada bocah-bocah tersebut untuk membagi-bagi duitnya masing-masing. Kami pikir rencana ini brilian sekali, sampai si Bocah kecil pirang yang memakai baju SD membawa kabur uangnya dan hanya dibagikan ke 1 orang temannya. Kami dibohongin bocah pirang. Sialnya, bocah bocah lain malah marah ke kami, bukan ke bocah pirang tersebut. Namun akhirnya, kami bisa kabur dari bocah-bocah tersebut dan bisa sedikit menikmati indahnya pantai kuta sore itu setelah perjuangan yang melelahkan. Namun ada hal yang membuat saya makin gondok, yaitu ketika pulang si bocah pirang menghampiri saya dan berkata “Kakak, gelangnya boleh 500 satu buah” seakan-akan meledek saya dengan nyinyirnya #huft.

No comments:

Post a Comment