Monday 7 October 2013

Papandayan


“Apa yang lo dapetin sih dari naik Gunung?, segitu worthed-kahnya apa yang lo dapetin dengan bersusah payah untuk mendaki? Apa sih tujuannya?” 

Pertanyaan itu adalah alasan mengapa saya memutuskan untuk ikut dalam pendakian ke papandayan, Gunung yang katanya “for beginner” “kemping-kemping lucu”, Untuk mencari jawabannya. 

Teman saya berkata, gunung pertama yang kita daki berperan penting dalam menentukan apakah setelah itu kita akan ketagihan mendaki lagi atau berhenti.  Oleh karena itu, sebelum mendaki saya tidak berani untuk “googling”. Takut berekspektasi, dan ekpektasi biasanya menyakiti dan mengecewakan. 

So, why papandayan?
Yah kalau pilihan ini sih murni karena memang tidak ada pilihan lagi, pun ini diajak oleh Anto (teman baru kenal kemarin). Berhubung diajak oleh Anto dan terdapat variable bernama Fia (teman sudah lama kenal) di tim pendakian ini, maka saya memutuskan untuk ikut walau seluruh tim adalah anak Teknik Elektro yang hanya saya kenal sepintas.
***
Jam 19:00 saya sudah sampai di kampung rambutan, dan aih aih aih terlalu cepat dari jam janjian yaitu jam 21:00. Namun ternyata,  seluruh tim berusaha untuk on time dan kami berangkat sesuai rencana. Jam 22:00 kita pun sudah meluncur ke Garut. 

Di Bis tidak ada yang istimewa selain fakta bahwa lagu Nafa Urbah benar-benar merasuk ke otak dan meresap dalam, hingga sampai saat menulis ini pun lagunya masih terngiang-ngiang #HuftBanget.

Sekitar jam 3 malam, kami sampai di Masjid Tarogong, dan melanjutkan perjalanan dengan pick-up ke Starting Point Pendakian. Hempasan angin pagi di dataran tinggi jelas berhasil membuat badan ini mengigil selama perjalanan. Namun, bintang malam itu dan percakapan-percakapan kecil kami, membuat perjalanan menjadi terasa hangat. Ditambah kesimpulan kecil bahwa tim jejaka elektro ini sama dengan teman jejaka tekim, bisa diandalkan. Tidak seperti tim jejaka lain yang saya temui di Singapura. 

Setelah sekitar 1 jam lebih akhirnya kami sampai di starting point pendakian. Di sini terdapat banyak warung sehingga kami bisa jajan-jajan lucu dan numpang tidur-tidur lucu sebentar di warung. Yang saya senang disini adalah airnya sama persis dengan air di rumah nenek saya yang memang di garut juga, segar sekali. Walaupun kata anak-anak super dingin. 

Starting Point (Foto Punya Anto)
***
Setelah matahari menunjukkan raganya, kami pun bersiap-siap mendaki dengan pemanasan-pemanasan lucu dan berdoa terlebih dahulu. Setelah itu, cus lah kita menuju Pondok Seladah, tempat camp kita nantinya. Seperti yang saya utarakan sebelumnya, saya belum” googling” tempat ini, jadi didalam pikiran saya di Pondok Seladah ini banyak tumbuhan selada nya dan jika lapar bisa langsung dipetik dan dimakan.

Trek awal pendakian adalah jalur bebatuan yang terdapat di sisi kawah belerang.  Tidak terjal dan friendly untuk pemula seperti saya. Namun walau begitu tetap saja terasa lelah pada awalnya, mungkin karena saya masih sulit untuk mengatur nafas. Pemandangan kawah belerang yang sangat epic dengan asap yang muncul di beberapa titik jelas membantu saya untuk beradaptasi dengan lelah. 

Di jalur ini, saya menyadari bahwa papandayan ini memang benar seperti kata teman saya “untuk kemping-kemping lucu” . Karena apa? Karena tiba-tiba ada motor yang mendaki dengan mudah begitu saja, bahkan saya sempat terbersit  untuk ngojek disini. Oh iya, Sangat disarankan untuk menggunakan masker dijalur pendakian ini, karena ada beberapa titik yang bau belerangnya cukup menyengat.

Di trek awal pendakian ini, ada satu jalur yang saya sangat suka karena jalurnya yang menurun, bukan menanjak. Dan diakhir jalurnya, ada sungai kecil. Namun ya, trek seperti itu hanya sekian menit, sampai akhirnya harus mendaki lagi. Disini, Vanessa  (temannya Fia) memberikan pilihan kepada kami, apakah selanjutnya mau lewat  jalur yang curam atau landai tapi jauh. Jelas tim belakangan ini memilih yang landai tapi jauh.

Ada satu pesan yang saya ingat dari Vanessa, “jangan percaya sama apa yang orang katakan di Gunung”. Well, itu adalah pesan dari vanessa setelah dia meng-PHP-kan kita semua. Berkata bahwa sebentar lagi sampai, lewat dua tebing, tinggal belok kiri sisanya adalah jalan datar. Yang nyatanya, masih cukup jauh dan tidak bisa disebut jalan datar. Tapi jelas kita semua  mengerti kenapa Vanessa meng-PHP-kan kita.
***
Setelah 2 jam, sampailah kita di Pondok Seladah, lapangan luas yang ternyata tidak ada pohon seladanya.  Disini, kami mendirikan tenda, berbenah, memasak, dan tidur siang. Leyeh-leyeh diatas gunung tentu pengalaman yang baru untuk saya. Ditambah memang sudah lama sekali tidak merasakan yang namanya camping. Senangnya. 

Setelah solat dzuhur, kami melanjutkan perjalanan ke Tegal Alun dan Hutan Mati, yang katanya bukan lewat jalur biasa. Ternyata jalurnya adalah mendaki bebatuan besar. Sejujurnya saya sangat senang dengan jalur seperti ini, tidak terasa lelah. Mungkin karena ada tantangan sehingga adrenalin sedikit terpacu. 

Jalur ke Tegal Alun (Foto Punya Anto)
Setelah dikira hampir nyasar karena treknya kurang jelas, akhirnya kami tiba di Tegal Alun, Padang Edelweis.  Cukup indah. Namun lebih indah padang Edelweis di imajinasi saya. Tuh kan, ekspektasi memang selalu saja seperti itu. 

Setelah dari Tegal Alun, kami turun melewati hutan mati, berbeda dengan jalur naik sebelumnya. Imajinasi saya jelas tidak pernah membayangkan hutan seperti ini, hutannya seperti hutan yang ada di dongeng-dongeng sebelum tidur. Maka, jelas foto saya disini lebih banyak daripada di Tegal Alun. 

Hutan Mati
Hutan Mati
***
Malam harinya, kami melakukan apa yang dilakukan orang saat camping pada umumnya. Memasak makan malam, duduk didekat api unggun, dan melakukan percakapan-percakapan kecil. Sungguh malam itu dingin sekali walau sudah memakai baju dobel  4. Tidur pun tidak bisa nyenyak. Mungkin jika ada satu alasan kuat yang akan membuat saya tidak mau mendaki lagi, salah satunya adalah karena dingin.

Berbicara mengenai sunrise,  saya tidak sempat menikmatinya, hanya melihat dari foto-foto teman saya saja. Sedikit menyesal , tetapi mau bagaimana lagi, yang salah bangun siang kan situ sendiri, yang males jalan kan juga situ sendiri. 
***
Jam 9 pagi, kami memutuskan untuk turun dan Sarapan di Parkiran saja. Jalur yang kami lewati berbeda dengan jalur saat kami naik. Katanya sih jalur yang tidak lazim. Eng ing eng, benar saja, jalur nya curam dan licin. Saya sangat kesulitan karena alas sepatu sudah aus. Sedikit-sedikit saya harus melakukan metode perosotan. Sampai akhirnya ada yang berbaik hati meminjamkan sendal gunungnya dan mengajari saya trik turun agar tidak terpeleset, makasih ya Ade, Oka, dan Edi (jejaka elektro).  Namun, jika dibandingkan dengan jalur awal pendakian, saya lebih suka trek seperti ini, menantang dan lebih cepat. 

Jalur Pulang (Foto Punya Anto)
Sesampainya diparkiran, saya yang tidak berniat mandi, malah akhirnya menjadi orang yang paling menikmati mandi pagi itu. Dikala anak-anak yang lain kepanasan dengan air nya, maka saya mendapatkan kamar mandi yang airnya cukup hangat, tidak terlalu panas. 

Setelah semua siap, kami pun cus menuju Cisurupan dengan menaiki pick-up. Pemadangan saat turun ternyata sangat indah loh. Setelah sampai, kami pun menyewa angkot menuju terminal Garut. Dan selesailah perjalanan pendakian saya yang pertama ini. 
***
Lantas apakah saya mendapatkan jawabannya?.  

Inilah mengapa saya justru ingin mendaki lagi. Belum mendapatkan jawabannya. Rasa penasaran saya belum terjawab. Penasaran dengan perasaan “waw gw udah sampe sini loh, cape tapi indah banget, kuasa Allah”, Perasaan puas karena berhasil mencapai sesuatu setelah berlelah-lelah, dan dihadiahi oleh Tuhan oleh sesuatu yang sangat indah, Perasaan dimana saya susah untuk move on. Saya belum mendapatkan itu semua. Belum mencapai titik puas yang saya harapkan. Masih penasaran dengan kata orang dan cerita orang. 

Sampai saat ini, perasaan puas dan susah move on memang juaranya adalah saat liburan ke lombok awal Maret lalu.  Namun setelah saya pikir-pikir, pemandangan di Papandayan tidak kalah indahnya dibandingkan Lombok. Ternyata variable “ who you travel with” masih memiliki pengaruh yang kuat. Hal tersebut saya simpulkan dari momen favorit saya di Lombok, yang ternyata jatuh pada saat kami makan malam di restoran Pantai Kuta. Tidak ada pemandangan yang indah saat itu, selain percakapan-percakapan dan lelucon-lelucon hangat.

Disini saya menyadari, bahwa banyak yang saya dapatkan dari perjalanan-perjalanan kecil saya, dari Hikmah dibalik setiap kejadian, pengalaman baru, orang-orang baru, pemandangan yang luar biasa indah. Namun saya harus mengakui, perjalan dengan sahabat, kemanapun tempatnya, selalu menjadi juara. Dan alasan saya untuk mendaki lagi mungkin karena ingin mengejawantahkan statement saya sebelumnya.

Note:
Foto ada yang punya Anto dari-anto.blogspot.com/

2 comments:

  1. pengen lagi karena blom puas? gw pengen lagi karena kangen (halah)

    ReplyDelete
  2. dem! kamera hape lu emang bagus ci *ngiler
    #dah,ninggalin jejak

    ReplyDelete