“Apa yang lo dapetin sih dari
naik Gunung?, segitu worthed-kahnya apa yang lo dapetin dengan bersusah payah
untuk mendaki? Apa sih tujuannya?”
Pertanyaan itu adalah alasan
mengapa saya memutuskan untuk ikut dalam pendakian ke papandayan, Gunung yang katanya
“for beginner” “kemping-kemping lucu”, Untuk mencari jawabannya.
Teman saya berkata, gunung
pertama yang kita daki berperan penting dalam menentukan apakah setelah itu
kita akan ketagihan mendaki lagi atau berhenti.
Oleh karena itu, sebelum mendaki saya tidak berani untuk “googling”.
Takut berekspektasi, dan ekpektasi biasanya menyakiti dan mengecewakan.
So, why papandayan?
Yah kalau pilihan ini sih murni
karena memang tidak ada pilihan lagi, pun ini diajak oleh Anto (teman baru
kenal kemarin). Berhubung diajak oleh Anto dan terdapat variable bernama Fia (teman
sudah lama kenal) di tim pendakian ini, maka saya memutuskan untuk ikut walau
seluruh tim adalah anak Teknik Elektro yang hanya saya kenal sepintas.
***
Jam 19:00 saya sudah sampai di
kampung rambutan, dan aih aih aih terlalu cepat dari jam janjian yaitu jam
21:00. Namun ternyata, seluruh tim
berusaha untuk on time dan kami berangkat sesuai rencana. Jam 22:00 kita pun
sudah meluncur ke Garut.
Di Bis tidak ada yang istimewa
selain fakta bahwa lagu Nafa Urbah benar-benar merasuk ke otak dan meresap
dalam, hingga sampai saat menulis ini pun lagunya masih terngiang-ngiang
#HuftBanget.
Sekitar jam 3 malam, kami sampai
di Masjid Tarogong, dan melanjutkan perjalanan dengan pick-up ke Starting Point
Pendakian. Hempasan angin pagi di dataran tinggi jelas berhasil membuat badan
ini mengigil selama perjalanan. Namun, bintang malam itu dan
percakapan-percakapan kecil kami, membuat perjalanan menjadi terasa hangat.
Ditambah kesimpulan kecil bahwa tim jejaka elektro ini sama dengan teman jejaka
tekim, bisa diandalkan. Tidak seperti tim jejaka lain yang saya temui di
Singapura.
Setelah sekitar 1 jam lebih akhirnya
kami sampai di starting point pendakian. Di sini terdapat banyak warung
sehingga kami bisa jajan-jajan lucu dan numpang tidur-tidur lucu sebentar di
warung. Yang saya senang disini adalah airnya sama persis dengan air di rumah
nenek saya yang memang di garut juga, segar sekali. Walaupun kata anak-anak
super dingin.
Starting Point (Foto Punya Anto) |
***
Setelah matahari menunjukkan
raganya, kami pun bersiap-siap mendaki dengan pemanasan-pemanasan lucu dan
berdoa terlebih dahulu. Setelah itu, cus lah kita menuju Pondok Seladah, tempat
camp kita nantinya. Seperti yang saya utarakan sebelumnya, saya belum” googling”
tempat ini, jadi didalam pikiran saya di Pondok Seladah ini banyak tumbuhan
selada nya dan jika lapar bisa langsung dipetik dan dimakan.
Trek awal pendakian adalah jalur
bebatuan yang terdapat di sisi kawah belerang. Tidak terjal dan friendly untuk pemula seperti saya. Namun walau begitu tetap saja terasa
lelah pada awalnya, mungkin karena saya masih sulit untuk mengatur nafas. Pemandangan
kawah belerang yang sangat epic dengan
asap yang muncul di beberapa titik jelas membantu saya untuk beradaptasi dengan
lelah.
Di jalur ini, saya menyadari
bahwa papandayan ini memang benar seperti kata teman saya “untuk kemping-kemping
lucu” . Karena apa? Karena tiba-tiba ada motor yang mendaki dengan mudah begitu
saja, bahkan saya sempat terbersit untuk
ngojek disini. Oh iya, Sangat disarankan untuk menggunakan masker dijalur
pendakian ini, karena ada beberapa titik yang bau belerangnya cukup menyengat.
Di trek awal pendakian ini, ada
satu jalur yang saya sangat suka karena jalurnya yang menurun, bukan menanjak. Dan
diakhir jalurnya, ada sungai kecil. Namun ya, trek seperti itu hanya sekian
menit, sampai akhirnya harus mendaki lagi. Disini, Vanessa (temannya Fia) memberikan pilihan kepada kami,
apakah selanjutnya mau lewat jalur yang
curam atau landai tapi jauh. Jelas tim belakangan ini memilih yang landai tapi
jauh.
Ada satu pesan yang saya ingat
dari Vanessa, “jangan percaya sama apa yang orang katakan di Gunung”. Well, itu
adalah pesan dari vanessa setelah dia meng-PHP-kan kita semua. Berkata bahwa
sebentar lagi sampai, lewat dua tebing, tinggal belok kiri sisanya adalah jalan
datar. Yang nyatanya, masih cukup jauh dan tidak bisa disebut jalan datar. Tapi
jelas kita semua mengerti kenapa Vanessa
meng-PHP-kan kita.
***
Setelah 2 jam, sampailah kita di
Pondok Seladah, lapangan luas yang ternyata tidak ada pohon seladanya. Disini, kami mendirikan tenda, berbenah,
memasak, dan tidur siang. Leyeh-leyeh diatas gunung tentu pengalaman yang baru
untuk saya. Ditambah memang sudah lama sekali tidak merasakan yang namanya camping. Senangnya.
Setelah solat dzuhur, kami
melanjutkan perjalanan ke Tegal Alun dan Hutan Mati, yang katanya bukan lewat
jalur biasa. Ternyata jalurnya adalah mendaki bebatuan besar. Sejujurnya saya
sangat senang dengan jalur seperti ini, tidak terasa lelah. Mungkin karena ada
tantangan sehingga adrenalin sedikit terpacu.
Jalur ke Tegal Alun (Foto Punya Anto) |
Setelah dikira hampir nyasar
karena treknya kurang jelas, akhirnya kami tiba di Tegal Alun, Padang
Edelweis. Cukup indah. Namun lebih indah
padang Edelweis di imajinasi saya. Tuh kan, ekspektasi memang selalu saja
seperti itu.
Setelah dari Tegal Alun, kami
turun melewati hutan mati, berbeda dengan jalur naik sebelumnya. Imajinasi saya
jelas tidak pernah membayangkan hutan seperti ini, hutannya seperti hutan yang
ada di dongeng-dongeng sebelum tidur. Maka, jelas foto saya disini lebih banyak
daripada di Tegal Alun.
Hutan Mati |
***
Malam harinya, kami melakukan apa
yang dilakukan orang saat camping pada umumnya. Memasak makan malam, duduk
didekat api unggun, dan melakukan percakapan-percakapan kecil. Sungguh malam
itu dingin sekali walau sudah memakai baju dobel 4. Tidur pun tidak bisa nyenyak. Mungkin jika
ada satu alasan kuat yang akan membuat saya tidak mau mendaki lagi, salah
satunya adalah karena dingin.
Berbicara mengenai sunrise, saya tidak sempat menikmatinya, hanya melihat
dari foto-foto teman saya saja. Sedikit menyesal , tetapi mau bagaimana lagi,
yang salah bangun siang kan situ sendiri, yang males jalan kan juga situ
sendiri.
***
Jam 9 pagi, kami memutuskan untuk
turun dan Sarapan di Parkiran saja. Jalur yang kami lewati berbeda dengan jalur
saat kami naik. Katanya sih jalur yang tidak lazim. Eng ing eng, benar saja,
jalur nya curam dan licin. Saya sangat kesulitan karena alas sepatu sudah aus. Sedikit-sedikit
saya harus melakukan metode perosotan. Sampai akhirnya ada yang berbaik hati meminjamkan
sendal gunungnya dan mengajari saya trik turun agar tidak terpeleset, makasih
ya Ade, Oka, dan Edi (jejaka elektro). Namun,
jika dibandingkan dengan jalur awal pendakian, saya lebih suka trek seperti
ini, menantang dan lebih cepat.
Jalur Pulang (Foto Punya Anto) |
Sesampainya diparkiran, saya yang
tidak berniat mandi, malah akhirnya menjadi orang yang paling menikmati mandi
pagi itu. Dikala anak-anak yang lain kepanasan dengan air nya, maka saya
mendapatkan kamar mandi yang airnya cukup hangat, tidak terlalu panas.
Setelah semua siap, kami pun cus
menuju Cisurupan dengan menaiki pick-up. Pemadangan saat turun ternyata sangat
indah loh. Setelah sampai, kami pun menyewa angkot menuju terminal Garut. Dan
selesailah perjalanan pendakian saya yang pertama ini.
***
Lantas apakah saya mendapatkan
jawabannya?.
Inilah mengapa saya justru ingin
mendaki lagi. Belum mendapatkan jawabannya. Rasa penasaran saya belum terjawab.
Penasaran dengan perasaan “waw gw udah sampe sini loh, cape tapi indah banget,
kuasa Allah”, Perasaan puas karena berhasil mencapai sesuatu setelah
berlelah-lelah, dan dihadiahi oleh Tuhan oleh sesuatu yang sangat indah, Perasaan
dimana saya susah untuk move on. Saya belum mendapatkan itu semua. Belum
mencapai titik puas yang saya harapkan. Masih penasaran dengan kata orang dan
cerita orang.
Sampai saat ini, perasaan puas
dan susah move on memang juaranya adalah saat liburan ke lombok awal Maret lalu.
Namun setelah saya pikir-pikir,
pemandangan di Papandayan tidak kalah indahnya dibandingkan Lombok. Ternyata variable
“ who you travel with” masih memiliki pengaruh yang kuat. Hal tersebut saya
simpulkan dari momen favorit saya di Lombok, yang ternyata jatuh pada saat kami
makan malam di restoran Pantai Kuta. Tidak ada pemandangan yang indah saat itu,
selain percakapan-percakapan dan lelucon-lelucon hangat.
Disini saya menyadari, bahwa
banyak yang saya dapatkan dari perjalanan-perjalanan kecil saya, dari Hikmah dibalik
setiap kejadian, pengalaman baru, orang-orang baru, pemandangan yang luar biasa
indah. Namun saya harus mengakui, perjalan dengan sahabat, kemanapun tempatnya,
selalu menjadi juara. Dan alasan saya untuk mendaki lagi mungkin karena ingin
mengejawantahkan statement saya sebelumnya.
Note:
Foto ada yang punya Anto dari-anto.blogspot.com/
pengen lagi karena blom puas? gw pengen lagi karena kangen (halah)
ReplyDeletedem! kamera hape lu emang bagus ci *ngiler
ReplyDelete#dah,ninggalin jejak